


Berikut ini adalah contoh gambar dekoratif untuk bahan referensi bagi siswa-siswi SMA Negeri 3 Kuningan yang akan atau sedang mengerjakan proyek hiasan dinding dan dekorasi.
Entah, masihkah ada
Cinta di hatiku untukmu
Entah, kapankah ku dapat
Membuka hati untukmu
Berulang kali kudengar lirik lagu itu mengalir ke telingaku. Lewat earphone, tentu saja. Lagu berjudul ‘Entah’ yang dipopulerkan oleh Afgan itu membuat aku merasa ada sakit yang luar biasa di dadaku. Memang, hanya bait ini saja yang mampu merasuki hatiku, membuatku terenyuh dengan kata-kata.
Ah, entah. Entah apa yang sebenarnya aku rasakan pada Hani. Dia begitu indah bagiku, walaupun tak seindah ayat-ayatNya. Dia begitu manis, walaupun tak semanis janjiNya untuk orang yang bertakwa. Dia yang membuatku bangkit, setelah hampir satu tahun aku terpuruk dan nilai biologiku yang hancur. Dia yang membuatku menekuni pelajaran Bu Susi itu mulai pukul 19.00 hingga 01.00, walau hanya diterangi dua batang lilin. Dia yang menguatkanku, untuk bersikap jujur saat ujian semester berlangsung. Memang, peringkatku di kelas belum memulih, tapi nilai biologiku naik.
Entah, apa benar aku menyukainya. Dari awal aku hanya menganggap dia tetangga desa yang kebetulan sekolah di kota juga. Dan tak lebih dari itu saat dia memintaku pulang sekolah bersamanya. Dan aku tak pernah inginkan hatiku padanya lebih dari kakak pada adiknya.
Tapi, ada perasaan berat saat aku harus pergi ke Bandung selama 3 hari. Sempat aku berpikir, ah, aku takkan bertemu Hani selama 3 hari. Ada perasaan berat ketika dia mengatakan akan tinggal bersama neneknya di Lamepayung selama seminggu. Terbersit pikiran, seminggu aku takkan bisa se-angkot dengan Hani saat berangkat sekolah.
Ya Allah, apa mungkin aku mencintainya? Aku sama sekali tak ingin mengakuinya. Aku tak ingin diriku pun tahu bahwa aku mencintainya. Mengapa tak Kau biarkan aku terus mengucap ‘entah’?
Ah, Hani. Sejak sebulan lalu dia tak mau lagi membalas SMS-ku. Apa dia sadar, itu sejak kapan? Menurutku, sejak dia memutuskan untuk tinggal di rumah neneknya itu. Dia bilang hanya seminggu, tapi ternyata sudah lebih dari sebulan, dan dia tak mau membalas SMS-ku. Apa dia marah padaku? Entah. Aku pun tak mengerti untuk apa dia marah padaku.
Dan selama sebulan itu, dia selalu me-reject telepon dariku. Aaarrgghh, entah apa yang terjadi dengannya, aku tidak tahu. Entah, apa mungkin dia berusaha menjauhiku? Tapi mengapa?
Pagi ini, Selasa, 15 Juli 2008. Entah kebetulan, ataukah memang ini yang terjadi seharusnya. Aku menemukannya duduk sendirian di angkot berkode trayek 057. Biasanya, dia melempar senyumnya saat melihatku. Pagi ini pun dia melakukannya, tapi dengan sangat terpaksa, terpancar di matanya rasa tidak suka bertemu denganku. Aku tak membalas senyumnya.
“Tidak kost?” tanyaku berbasa-basi.
“Sementara ini PP dulu, mungkin nanti kalau sudah mulai pemantapan buat UN” jawabnya. Benar, ada nada tidak suka di kalimatnya.
Aku duduk di sampingnya.
“Kenapa kamu tidak suka balas SMS-ku?” aku tak tahan, langsung saja ku tanyakan perihal itu padanya.
“Tidak apa-apa” jawabnya enteng.
“Pasti ada apa-apa” sergahku.
“Benar kok, tidak ada apa-apa” jawabnya mulai kesal.
“Tak mungkin seseorang tak membalas SMS orang lain tanpa alasan” kataku lebih tegas. Kamu tak pandai berbohong, Hani, usiamu itu pun belum genap 13 tahun, pikirku.
“Memangnya wajib?” dia mulai marah. Aku bisa merasakan, ini bukan perasaan tidak suka, tapi......perasaan benci. Entah, ada apa dengan Hani.
“Kamu berubah, Han, sejak tinggal di nenekmu. Apa ada sesuatu di sana yang membuatmu begitu?” aku mulai menyelidik.
“Biasa saja, aku sama sekali tak berubah” masih dengan nada marahnya.
“Baiklah, biar ku tebak sendiri. Ada siswa SMA 3 yang kost di Lamepayung, lalu kamu mengatakan padanya bahwa kamu mengenalku, atau sering bertemu denganku. Lalu dia mengatakan bahwa sebaiknya kamu menjauhiku karena aku bla bla bla bla bla.....!” seratus persen aku hanya mengarang cerita saja. Tapi.......
“Tidak, bukan dia yang mengatakannya, tapi mereka. Maksudku bukan seorang, tapi 3 orang mengatakan hal yang sama. Bagaimana aku tidak percaya kalau yang mengatakannya lebih dari satu orang?” dia semakin meninggikan nada suaranya 1 oktaf.
Terang aku bengong. Aku tak pernah mengira ada yang benar-benar melakukannya. Lamepayung? Siapa? Banyak temanku di sana. 3 orang? Siapa saja? Entah, aku semakin tak mengerti. Dan, mereka mengatakan apa tentangku?
“Apa yang mereka katakan tentangku?” sebenarnya aku mulai marah, tapi kucoba bersabar untuk mengorek keterangan darinya.
“Pikir saja sendiri!” jawabnya kasar.
Aku menarik napas. Aku mulai menebak. Apa mungkin mereka mengatakan bahwa aku...........
“Apa aku menyakitimu?” tanyaku dengan sangat lembut.
“Tentu saja. Ini sangat menyakitkan bagiku. Apa kakak tak pernah memikirkan perasaanku?” dia menjawab setengah berteriak.
“Mungkin, eh......apa mungkin mereka mengatakan padamu bahwa aku.......menyukaimu.....?” tanyaku ragu, masih mencoba bersabar.
Hani menutup matanya sejenak, menghirup napas dalam-dalam. Sepertinya dia hendak memberi jawaban yang berat sekali.
“Ya. Mereka mengatakan bahwa kemungkinan besar kakak mencintaiku. Sudah banyak bukti kok. Termasuk SMS dan telepon-telepon dari kakak. Dan karena itu aku benci kakak. Ternyata kakak menginginkan sesuatu dariku, aku tak menyangka. Kenapa sih kakak tidak mau menyadari bahwa kakak itu......perempuan.......bukan laki-laki.......!”
Aku tak terkejut. Memang begitulah reputasiku di sekolah. Jenius, tapi......lesbian.
“Aku tidak seperti itu, Han!” teriakku marah. Darahku serasa bergejolak. Rasa sakit luar biasa menyelimuti hatiku. Terasa irisan-irisan halus menyayatnya. Entah, mungkin rasa cintaku pun seketika berubah menjadi benci. Aku tahu, aku salah, tapi aku tak pernah merasa bahagia mencintainya. Aku pun merasa tersiksa selama ini, karena cinta ini. Aku tidak pernah mau mengakui bahwa aku mencintainya. Aku sangat menyesal ketika aku sadar ternyata aku memang mencintainya.
Hani menghapus air matanya yang mulai menetes. Aku melakukan hal yang sama. Kurasa Hani kaget saat kusentak tadi. Ah, wajah manis itu, aku benci padanya. Aku beranjak dari angkot itu. Keluar. Hendak kutinggalkan orang yang kubenci itu, yang kubenci dengan cintaku. Tapi, kuhentikan langkahku sejenak.
“Hani, coba kamu pikirkan! Kalau memang aku mencintaimu dan menginginkan sesuatu darimu, tentu sudah lama aku berbuat cabul dan tak senonoh padamu. Tapi, bukankah selama ini aku selalu berusaha agar bersentuhan kulitpun kita tidak? Sedikitpun tidak pernah! Coba kamu pikirkan!” kataku sambil menahan tangis dan tetap membelakangi Hani. Aku pergi, naik angkot lain.
Ya, itulah kejadian tadi pagi. Tentu saja aku masih mengingatnya dengan jelas. 5 menit lalu aku menerima SMS dari nomor 085724408331, yang kutahu itu nomor ponsel Hani, aku sudah menghapusnya dari phonebook. Isinya hanya,
“Teteh, maafin Hani. Teteh benar, selama ini teteh tidak pernah berbuat macam-macam pada Hani. Hani benar-benar minta maaf, Hani sudah termakan isu. Teteh mau kan maafin Hani dan menjadi teman Hani lagi? Please, teh!”
Entah, Hani. Rasa benci ini masih tersisa di hatiku. Karena aku membencinya dengan cintaku, itu benar, sungguh. Entah, masihkah aku mencintainya.
Lagu itu masih kudengar dari earphone ku. Hatiku terasa semakin perih jadinya.
“Entah, masihkah ada cinta di hatiku untukmu. Entah, kapankah ku dapat membuka hati untukmu” aku ikut bernyanyi. Sambil menahan tangis.
Maaf, Hani. Aku tak bisa menjadi temanmu lagi. Aku ingin melupakanmu, segala tentangmu, tentang cintaku. Kau, terlalu indah untuk kucintai. Doakan aku agar bisa berubah. Semoga. Mungkinkah aku mampu? Entah.
****
Adakah mereka setia pada Tuhannya
Andai nafsu merajai hatinya
Hati orang-orang yang normal katanya
Bergumam dia,
Apakah salah yang hamba rasa
Jika hamba mampu menahan nafsu nista
Ataukah jika hamba tak menurutinya
Ya Allah, inikah takdir-Mu
Beri rasa yang tak hamba mengerti
Sungguh, bukan ingin hamba seperti ini
Bukan ingin hamba miliki cinta seperti ini
Bukan ingin hamba, Ya Allah, sungguh bukan
Hamba juga ingin seperti mereka
Hidup normal sewajarnya
Dengan cinta sewajarnya
Ya Allah, hamba telah berusaha
Untuk kembali menjadi diri hamba yang utuh
Siang hamba termenung, sesali andai ini dosa
Malam hamba menangis, meminta ampun-Mu
Ya Allah…………
Tolong, hapuskan cinta ini
Hamba tak ingin berdosa pada-Mu lagi
Bukan ingin hamba, bukan mau hamba
Jika cinta ini tetap ada
Hamba mohon, Ya Allah
Engkau Maha Tahu apa isi hati hamba
Hapuslah, enyahkanlah, ini ingin hamba
“SMA 3?” tanya supir angkot yang kunaiki.
“Ada, Pak!” jawabku setengah berteriak.
Aku turun tergesa-gesa hingga bola basketku jatuh. Kusodorkan 3 lembar uang ribuan pada supir dan langsung berlari mengejar bolaku yang menggelinding menuruni jalan menuju sekolah.
“Huff, dapat” seruku sambil mengambil bola dengan tangan kanan. Tangan kiriku menjinjing tas sekolah yang hanya berisi baju basket.
“Pagi!” sapaku pada gadis-gadis kelas X sambil tersenyum. Yang kusapa hanya tersenyum malu. Dasar cewek, pikirku.
Entah mengapa aku merasa senang sekali hari ini. Sejak bangun tidur, aku sudah semangat. Senyum tak lepas dari bibirku. Mungkin karena aku tahu hari ini tidak ada pelajaran.
Ini hari Sabtu, minus satu dari hari terakhir anak kelas XI IPA latihan tari. Besok pagi latihan terakhir, karena mereka akan tampil besok malam. Besok malam adalah malam pembukaan Pekan Olah Raga Kabupaten (PORKAB). Siswa kelas XI IPA sekolahku ikut berpartisipasi bersama 3 SMA lainnya untuk menampilkan tarian kuda lumping. Aku sendiri tidak bisa ikut karena menjadi peserta PORKAB. Sudah beberapa minggu ini mereka latihan. Dan khusus hari ini mereka latihan dari pagi, jadi, hari ini tidak ada pelajaran.
Di kaki tangga menuju kelas XI IPA aku berhenti. Dita terlihat melamun duduk di sana. Aku merogoh saku baju, kuambil plastik kecil berisi beberapa helai foto.
“Dit, nih buat kamu!” kuserahkan foto-foto itu pada Dita. Kening Dita berkerut, kemudian alisnya terangkat, tersenyum senang.
“Wah, makasih nih” serunya sambil merebut foto-foto itu dari tanganku. Aku tersenyum. “Kamu dapat ini dari mana?” sambungnya bertanya.
“Dari dianya langsung!” jawabku polos.
“Dari Lucky Perdana?” tanya Dita tak percaya.
“Iya, aku kan adiknya Lucky Perdana! Nama lengkap aku kan Rifky Isi Ulang” kataku sambil tertawa. Dita tersenyum geli dan memukul lenganku.
“Kamu tu ya!” katanya.
Aku terus menaiki tangga.
“Jadi, sekarang kamu ngedeketin Dita!” komentar seseorang yang berpapasan denganku.
“Maksud loe?” tanyaku menyindir. Dia hanya tersenyum sinis sambil berlalu. Aku menggelengkan kepala. Ah, aku masih mereka anggap buruk.
Sampai beberapa minggu yang lalu, aku adalah playboy paling beken di sekolah. Tapi, hari ini tidak. Sekarang aku hanya mempunyai satu pacar, Arin, dan berusaha setia padanya. Walaupun kuakui aku tak terlalu mencintainya. Jujur, aku lebih mencintai Aulia, teman se-SMP Arin yang sekarang menjadi adik kelasku di sekolah.
Arin, sekalipun pacarku satu-satunya saat ini, kurang mendapat perhatianku. Mungkin aku sibuk dengan latihan basketku. Atau justru aku sibuk memikirkan Aulia. Hmmh, Aulia. Aulia mulai menjauhiku. Kurasa temannya mengatakan bahwa aku playboy, bahwa aku juga menyukainya, dan dia harus berhati-hati terhadapku.
Entahlah. Yang pasti, Aulia, kau yang menguasai hatiku sekarang.
Sampai saat ini, aku tak berani meminta Aulia untuk menjadi pacarku. Itu karena aku sayang padanya. Dia gadis yang baik, tak pernah pacaran, tak pernah disentuh laki-laki. Aku mengagumi prinsipnya yang tidak ingin pacaran Dan aku ingin profil itu tetap melekat padanya. Aku tidak ingin melukainya. Aku tidak ingin menyakitinya. Ya, mungkin saja saat ini aku mampu berjanji setia untuknya, tapi tak menutup kemungkinan sifat playboyku kambuh suatu hari. Aku tidak mau nama baiknya dicemari oleh playboy kotor sepertiku.
Biarlah Aulia menjadi burung yang bebas, dan aku akan tetap memujanya. Biarlah dia tetap mengepakkan sayap indahnya. Daripada dia kukurung dalam sangkarku. Karena, sekalipun sangkarku terbuat dari emas, dia belum tentu bahagia denganku. Lagipula, mencintai Aulia tidak akan membuatku patah hati, karena Aulia tidak akan menerima laki-laki manapun untuk menjadi pacarnya. Ya, aku yakin itu.
Beberapa puluh senti di atas kepalaku terdapat papan bertuliskan XI IPA 2. Kuhampiri pintu, masuk. Tangan kananku masih memain-mainkan bola basket ketika aku duduk di bangku kedua. Teman sebangkuku menyadari kedatanganku.
“Rifky, dia udah jadian!” sambarnya. Aku melirik ke arahnya, bola basket masih kumainkan.
“Dia siapa sih maksud kamu?” tanyaku sambil terus dengan bola basket di tangan kananku.
“Dia! Aulia......!” jawabnya dengan penuh penekanan kata di setiap bagian.
“Dug....dug dug dug” bola basketku jatuh begitu saja ke lantai. Aku tak mampu menahan keseimbangannya, karena.........
Mataku terbelalak tak percaya. Mulutku menganga. Tanganku kaku. Jantungku berdetak sangat lemah, hingga hampir tak terasa. Waktu seakan terhenti. Napasku sesak. Dalam hatiku terasa sakit yang amat luar biasa.
“Ja..dian...? Sama....si...apa?” tanyaku terbata-bata, itupun dengan susah payah.
“Dicky.” Seketika wajahku menjadi pucat kaku seperti mayat.
“Hah? Kapten tim basket?” tanyaku lemas.
“Ya, dia.”
Dicky, murid baru yang langsung mendapat popularitas di sekolah karena kemampuannya dalam basket. Dia bahkan mampu mengalahkanku yang dulu diprediksikan menjadi pemain terbaik oleh kakak kelasku. Aku pun mengakui kehebatannya.
“Kapan mereka jadian?” tanyaku tak terkendali, mataku memandang kosong.
“Dua minggu yang lalu. Katanya sih waktu anak rohis ngadain buka puasa bersama. Kamu ingat? Kamu juga datang kan, karena kamu pengen ketemu Aulia. Dicky juga datang, dan...........”
“Begitu!” potongku. Aku berusaha berdiri dengan badan lemasku ini, lalu berjalan keluar.
“Mau kemana?”
Aku berhenti, berbalik.
“Kamu mau latihan kuda lumping kan? Cepat ganti baju! Walaupun aku gak ikut kuda lumping, aku juga mau ke stadion. Di sini sepi” kataku.
Selama siswa kelas XI IPA latihan, aku hanya melamun, menunduk, lemas, patah semangat. Bahkan selama latihan basket sore itupun. Ditambah pelatih yang terus memuji kelincahan gerakan Dicky. Ah, inikah aku.
Meja di kelas X.3 itu kupakai untuk terlentang. Mengendurkan otot-otot yang kaku karena latihan basket tadi. Aku menunggu anak-anak basket lain yang sedang ganti baju, termasuk Dicky.
Tentu saja aku tidak semudah itu melupakan Aulia, tapi..........ah, sudahlah. Ini kan malam Minggu, pikirku. Jadi, seharusnya aku telepon Arin.
Kurogoh saku celana kiri, kuambil ponsel yang kubeli 10 hari lalu. Kutekan beberapa tombol, dan..........
“Tut..........” tersambung.
“Tut..........” belum diangkat.
“Tut......clek” diangkat.
“Halo...” suara gadis di seberang.
“Halo Arin, aku baru selesai latihan. Kamu lagi ngapain, Rin?” kataku manja.
“Rifky, maaf ya!”
“Ada apa?”
“Sepertinya hubungan kita sampai sini saja. Aku gak mau punya pacar yang gak merhatiin aku, yang sibuk sama latihan basketnya. Aku udah punya pengganti kamu, yang lebih menyayangi dan merhatiin aku!”
Aku terdiam.
“Rifky, ayo pulang!” teriak seseorang dari luar. Kututup telepon dan melompat keluar.
“Yuk” kataku menyambut ajakan anggota tim basket lain.
Sekilas aku ingat dua kata yang kuucapkan pada Arin sebelum kututup teleponnya. “Ya, terserah” kataku pada Arin.
Hmmh. Ya. Hari ini aku jomblo. Ini pertama kalinya aku jomblo sejak pertama kali pacaran.
Ah, inikah aku?
****