“SMA 3?” tanya supir angkot yang kunaiki.
“Ada, Pak!” jawabku setengah berteriak.
Aku turun tergesa-gesa hingga bola basketku jatuh. Kusodorkan 3 lembar uang ribuan pada supir dan langsung berlari mengejar bolaku yang menggelinding menuruni jalan menuju sekolah.
“Huff, dapat” seruku sambil mengambil bola dengan tangan kanan. Tangan kiriku menjinjing tas sekolah yang hanya berisi baju basket.
“Pagi!” sapaku pada gadis-gadis kelas X sambil tersenyum. Yang kusapa hanya tersenyum malu. Dasar cewek, pikirku.
Entah mengapa aku merasa senang sekali hari ini. Sejak bangun tidur, aku sudah semangat. Senyum tak lepas dari bibirku. Mungkin karena aku tahu hari ini tidak ada pelajaran.
Ini hari Sabtu, minus satu dari hari terakhir anak kelas XI IPA latihan tari. Besok pagi latihan terakhir, karena mereka akan tampil besok malam. Besok malam adalah malam pembukaan Pekan Olah Raga Kabupaten (PORKAB). Siswa kelas XI IPA sekolahku ikut berpartisipasi bersama 3 SMA lainnya untuk menampilkan tarian kuda lumping. Aku sendiri tidak bisa ikut karena menjadi peserta PORKAB. Sudah beberapa minggu ini mereka latihan. Dan khusus hari ini mereka latihan dari pagi, jadi, hari ini tidak ada pelajaran.
Di kaki tangga menuju kelas XI IPA aku berhenti. Dita terlihat melamun duduk di sana. Aku merogoh saku baju, kuambil plastik kecil berisi beberapa helai foto.
“Dit, nih buat kamu!” kuserahkan foto-foto itu pada Dita. Kening Dita berkerut, kemudian alisnya terangkat, tersenyum senang.
“Wah, makasih nih” serunya sambil merebut foto-foto itu dari tanganku. Aku tersenyum. “Kamu dapat ini dari mana?” sambungnya bertanya.
“Dari dianya langsung!” jawabku polos.
“Dari Lucky Perdana?” tanya Dita tak percaya.
“Iya, aku kan adiknya Lucky Perdana! Nama lengkap aku kan Rifky Isi Ulang” kataku sambil tertawa. Dita tersenyum geli dan memukul lenganku.
“Kamu tu ya!” katanya.
Aku terus menaiki tangga.
“Jadi, sekarang kamu ngedeketin Dita!” komentar seseorang yang berpapasan denganku.
“Maksud loe?” tanyaku menyindir. Dia hanya tersenyum sinis sambil berlalu. Aku menggelengkan kepala. Ah, aku masih mereka anggap buruk.
Sampai beberapa minggu yang lalu, aku adalah playboy paling beken di sekolah. Tapi, hari ini tidak. Sekarang aku hanya mempunyai satu pacar, Arin, dan berusaha setia padanya. Walaupun kuakui aku tak terlalu mencintainya. Jujur, aku lebih mencintai Aulia, teman se-SMP Arin yang sekarang menjadi adik kelasku di sekolah.
Arin, sekalipun pacarku satu-satunya saat ini, kurang mendapat perhatianku. Mungkin aku sibuk dengan latihan basketku. Atau justru aku sibuk memikirkan Aulia. Hmmh, Aulia. Aulia mulai menjauhiku. Kurasa temannya mengatakan bahwa aku playboy, bahwa aku juga menyukainya, dan dia harus berhati-hati terhadapku.
Entahlah. Yang pasti, Aulia, kau yang menguasai hatiku sekarang.
Sampai saat ini, aku tak berani meminta Aulia untuk menjadi pacarku. Itu karena aku sayang padanya. Dia gadis yang baik, tak pernah pacaran, tak pernah disentuh laki-laki. Aku mengagumi prinsipnya yang tidak ingin pacaran Dan aku ingin profil itu tetap melekat padanya. Aku tidak ingin melukainya. Aku tidak ingin menyakitinya. Ya, mungkin saja saat ini aku mampu berjanji setia untuknya, tapi tak menutup kemungkinan sifat playboyku kambuh suatu hari. Aku tidak mau nama baiknya dicemari oleh playboy kotor sepertiku.
Biarlah Aulia menjadi burung yang bebas, dan aku akan tetap memujanya. Biarlah dia tetap mengepakkan sayap indahnya. Daripada dia kukurung dalam sangkarku. Karena, sekalipun sangkarku terbuat dari emas, dia belum tentu bahagia denganku. Lagipula, mencintai Aulia tidak akan membuatku patah hati, karena Aulia tidak akan menerima laki-laki manapun untuk menjadi pacarnya. Ya, aku yakin itu.
Beberapa puluh senti di atas kepalaku terdapat papan bertuliskan XI IPA 2. Kuhampiri pintu, masuk. Tangan kananku masih memain-mainkan bola basket ketika aku duduk di bangku kedua. Teman sebangkuku menyadari kedatanganku.
“Rifky, dia udah jadian!” sambarnya. Aku melirik ke arahnya, bola basket masih kumainkan.
“Dia siapa sih maksud kamu?” tanyaku sambil terus dengan bola basket di tangan kananku.
“Dia! Aulia......!” jawabnya dengan penuh penekanan kata di setiap bagian.
“Dug....dug dug dug” bola basketku jatuh begitu saja ke lantai. Aku tak mampu menahan keseimbangannya, karena.........
Mataku terbelalak tak percaya. Mulutku menganga. Tanganku kaku. Jantungku berdetak sangat lemah, hingga hampir tak terasa. Waktu seakan terhenti. Napasku sesak. Dalam hatiku terasa sakit yang amat luar biasa.
“Ja..dian...? Sama....si...apa?” tanyaku terbata-bata, itupun dengan susah payah.
“Dicky.” Seketika wajahku menjadi pucat kaku seperti mayat.
“Hah? Kapten tim basket?” tanyaku lemas.
“Ya, dia.”
Dicky, murid baru yang langsung mendapat popularitas di sekolah karena kemampuannya dalam basket. Dia bahkan mampu mengalahkanku yang dulu diprediksikan menjadi pemain terbaik oleh kakak kelasku. Aku pun mengakui kehebatannya.
“Kapan mereka jadian?” tanyaku tak terkendali, mataku memandang kosong.
“Dua minggu yang lalu. Katanya sih waktu anak rohis ngadain buka puasa bersama. Kamu ingat? Kamu juga datang kan, karena kamu pengen ketemu Aulia. Dicky juga datang, dan...........”
“Begitu!” potongku. Aku berusaha berdiri dengan badan lemasku ini, lalu berjalan keluar.
“Mau kemana?”
Aku berhenti, berbalik.
“Kamu mau latihan kuda lumping kan? Cepat ganti baju! Walaupun aku gak ikut kuda lumping, aku juga mau ke stadion. Di sini sepi” kataku.
Selama siswa kelas XI IPA latihan, aku hanya melamun, menunduk, lemas, patah semangat. Bahkan selama latihan basket sore itupun. Ditambah pelatih yang terus memuji kelincahan gerakan Dicky. Ah, inikah aku.
Meja di kelas X.3 itu kupakai untuk terlentang. Mengendurkan otot-otot yang kaku karena latihan basket tadi. Aku menunggu anak-anak basket lain yang sedang ganti baju, termasuk Dicky.
Tentu saja aku tidak semudah itu melupakan Aulia, tapi..........ah, sudahlah. Ini kan malam Minggu, pikirku. Jadi, seharusnya aku telepon Arin.
Kurogoh saku celana kiri, kuambil ponsel yang kubeli 10 hari lalu. Kutekan beberapa tombol, dan..........
“Tut..........” tersambung.
“Tut..........” belum diangkat.
“Tut......clek” diangkat.
“Halo...” suara gadis di seberang.
“Halo Arin, aku baru selesai latihan. Kamu lagi ngapain, Rin?” kataku manja.
“Rifky, maaf ya!”
“Ada apa?”
“Sepertinya hubungan kita sampai sini saja. Aku gak mau punya pacar yang gak merhatiin aku, yang sibuk sama latihan basketnya. Aku udah punya pengganti kamu, yang lebih menyayangi dan merhatiin aku!”
Aku terdiam.
“Rifky, ayo pulang!” teriak seseorang dari luar. Kututup telepon dan melompat keluar.
“Yuk” kataku menyambut ajakan anggota tim basket lain.
Sekilas aku ingat dua kata yang kuucapkan pada Arin sebelum kututup teleponnya. “Ya, terserah” kataku pada Arin.
Hmmh. Ya. Hari ini aku jomblo. Ini pertama kalinya aku jomblo sejak pertama kali pacaran.
Ah, inikah aku?
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar