Kamis, 19 Maret 2009

Entah

Entah, masihkah ada

Cinta di hatiku untukmu

Entah, kapankah ku dapat

Membuka hati untukmu

Berulang kali kudengar lirik lagu itu mengalir ke telingaku. Lewat earphone, tentu saja. Lagu berjudul ‘Entah’ yang dipopulerkan oleh Afgan itu membuat aku merasa ada sakit yang luar biasa di dadaku. Memang, hanya bait ini saja yang mampu merasuki hatiku, membuatku terenyuh dengan kata-kata.

Ah, entah. Entah apa yang sebenarnya aku rasakan pada Hani. Dia begitu indah bagiku, walaupun tak seindah ayat-ayatNya. Dia begitu manis, walaupun tak semanis janjiNya untuk orang yang bertakwa. Dia yang membuatku bangkit, setelah hampir satu tahun aku terpuruk dan nilai biologiku yang hancur. Dia yang membuatku menekuni pelajaran Bu Susi itu mulai pukul 19.00 hingga 01.00, walau hanya diterangi dua batang lilin. Dia yang menguatkanku, untuk bersikap jujur saat ujian semester berlangsung. Memang, peringkatku di kelas belum memulih, tapi nilai biologiku naik.

Entah, apa benar aku menyukainya. Dari awal aku hanya menganggap dia tetangga desa yang kebetulan sekolah di kota juga. Dan tak lebih dari itu saat dia memintaku pulang sekolah bersamanya. Dan aku tak pernah inginkan hatiku padanya lebih dari kakak pada adiknya.

Tapi, ada perasaan berat saat aku harus pergi ke Bandung selama 3 hari. Sempat aku berpikir, ah, aku takkan bertemu Hani selama 3 hari. Ada perasaan berat ketika dia mengatakan akan tinggal bersama neneknya di Lamepayung selama seminggu. Terbersit pikiran, seminggu aku takkan bisa se-angkot dengan Hani saat berangkat sekolah.

Ya Allah, apa mungkin aku mencintainya? Aku sama sekali tak ingin mengakuinya. Aku tak ingin diriku pun tahu bahwa aku mencintainya. Mengapa tak Kau biarkan aku terus mengucap ‘entah’?

Ah, Hani. Sejak sebulan lalu dia tak mau lagi membalas SMS-ku. Apa dia sadar, itu sejak kapan? Menurutku, sejak dia memutuskan untuk tinggal di rumah neneknya itu. Dia bilang hanya seminggu, tapi ternyata sudah lebih dari sebulan, dan dia tak mau membalas SMS-ku. Apa dia marah padaku? Entah. Aku pun tak mengerti untuk apa dia marah padaku.

Dan selama sebulan itu, dia selalu me-reject telepon dariku. Aaarrgghh, entah apa yang terjadi dengannya, aku tidak tahu. Entah, apa mungkin dia berusaha menjauhiku? Tapi mengapa?

Pagi ini, Selasa, 15 Juli 2008. Entah kebetulan, ataukah memang ini yang terjadi seharusnya. Aku menemukannya duduk sendirian di angkot berkode trayek 057. Biasanya, dia melempar senyumnya saat melihatku. Pagi ini pun dia melakukannya, tapi dengan sangat terpaksa, terpancar di matanya rasa tidak suka bertemu denganku. Aku tak membalas senyumnya.

“Tidak kost?” tanyaku berbasa-basi.

“Sementara ini PP dulu, mungkin nanti kalau sudah mulai pemantapan buat UN” jawabnya. Benar, ada nada tidak suka di kalimatnya.

Aku duduk di sampingnya.

“Kenapa kamu tidak suka balas SMS-ku?” aku tak tahan, langsung saja ku tanyakan perihal itu padanya.

“Tidak apa-apa” jawabnya enteng.

“Pasti ada apa-apa” sergahku.

“Benar kok, tidak ada apa-apa” jawabnya mulai kesal.

“Tak mungkin seseorang tak membalas SMS orang lain tanpa alasan” kataku lebih tegas. Kamu tak pandai berbohong, Hani, usiamu itu pun belum genap 13 tahun, pikirku.

“Memangnya wajib?” dia mulai marah. Aku bisa merasakan, ini bukan perasaan tidak suka, tapi......perasaan benci. Entah, ada apa dengan Hani.

“Kamu berubah, Han, sejak tinggal di nenekmu. Apa ada sesuatu di sana yang membuatmu begitu?” aku mulai menyelidik.

“Biasa saja, aku sama sekali tak berubah” masih dengan nada marahnya.

“Baiklah, biar ku tebak sendiri. Ada siswa SMA 3 yang kost di Lamepayung, lalu kamu mengatakan padanya bahwa kamu mengenalku, atau sering bertemu denganku. Lalu dia mengatakan bahwa sebaiknya kamu menjauhiku karena aku bla bla bla bla bla.....!” seratus persen aku hanya mengarang cerita saja. Tapi.......

“Tidak, bukan dia yang mengatakannya, tapi mereka. Maksudku bukan seorang, tapi 3 orang mengatakan hal yang sama. Bagaimana aku tidak percaya kalau yang mengatakannya lebih dari satu orang?” dia semakin meninggikan nada suaranya 1 oktaf.

Terang aku bengong. Aku tak pernah mengira ada yang benar-benar melakukannya. Lamepayung? Siapa? Banyak temanku di sana. 3 orang? Siapa saja? Entah, aku semakin tak mengerti. Dan, mereka mengatakan apa tentangku?

“Apa yang mereka katakan tentangku?” sebenarnya aku mulai marah, tapi kucoba bersabar untuk mengorek keterangan darinya.

“Pikir saja sendiri!” jawabnya kasar.

Aku menarik napas. Aku mulai menebak. Apa mungkin mereka mengatakan bahwa aku...........

“Apa aku menyakitimu?” tanyaku dengan sangat lembut.

“Tentu saja. Ini sangat menyakitkan bagiku. Apa kakak tak pernah memikirkan perasaanku?” dia menjawab setengah berteriak.

“Mungkin, eh......apa mungkin mereka mengatakan padamu bahwa aku.......menyukaimu.....?” tanyaku ragu, masih mencoba bersabar.

Hani menutup matanya sejenak, menghirup napas dalam-dalam. Sepertinya dia hendak memberi jawaban yang berat sekali.

“Ya. Mereka mengatakan bahwa kemungkinan besar kakak mencintaiku. Sudah banyak bukti kok. Termasuk SMS dan telepon-telepon dari kakak. Dan karena itu aku benci kakak. Ternyata kakak menginginkan sesuatu dariku, aku tak menyangka. Kenapa sih kakak tidak mau menyadari bahwa kakak itu......perempuan.......bukan laki-laki.......!”

Aku tak terkejut. Memang begitulah reputasiku di sekolah. Jenius, tapi......lesbian.

“Aku tidak seperti itu, Han!” teriakku marah. Darahku serasa bergejolak. Rasa sakit luar biasa menyelimuti hatiku. Terasa irisan-irisan halus menyayatnya. Entah, mungkin rasa cintaku pun seketika berubah menjadi benci. Aku tahu, aku salah, tapi aku tak pernah merasa bahagia mencintainya. Aku pun merasa tersiksa selama ini, karena cinta ini. Aku tidak pernah mau mengakui bahwa aku mencintainya. Aku sangat menyesal ketika aku sadar ternyata aku memang mencintainya.

Hani menghapus air matanya yang mulai menetes. Aku melakukan hal yang sama. Kurasa Hani kaget saat kusentak tadi. Ah, wajah manis itu, aku benci padanya. Aku beranjak dari angkot itu. Keluar. Hendak kutinggalkan orang yang kubenci itu, yang kubenci dengan cintaku. Tapi, kuhentikan langkahku sejenak.

“Hani, coba kamu pikirkan! Kalau memang aku mencintaimu dan menginginkan sesuatu darimu, tentu sudah lama aku berbuat cabul dan tak senonoh padamu. Tapi, bukankah selama ini aku selalu berusaha agar bersentuhan kulitpun kita tidak? Sedikitpun tidak pernah! Coba kamu pikirkan!” kataku sambil menahan tangis dan tetap membelakangi Hani. Aku pergi, naik angkot lain.

Ya, itulah kejadian tadi pagi. Tentu saja aku masih mengingatnya dengan jelas. 5 menit lalu aku menerima SMS dari nomor 085724408331, yang kutahu itu nomor ponsel Hani, aku sudah menghapusnya dari phonebook. Isinya hanya,

“Teteh, maafin Hani. Teteh benar, selama ini teteh tidak pernah berbuat macam-macam pada Hani. Hani benar-benar minta maaf, Hani sudah termakan isu. Teteh mau kan maafin Hani dan menjadi teman Hani lagi? Please, teh!”

Entah, Hani. Rasa benci ini masih tersisa di hatiku. Karena aku membencinya dengan cintaku, itu benar, sungguh. Entah, masihkah aku mencintainya.

Lagu itu masih kudengar dari earphone ku. Hatiku terasa semakin perih jadinya.

“Entah, masihkah ada cinta di hatiku untukmu. Entah, kapankah ku dapat membuka hati untukmu” aku ikut bernyanyi. Sambil menahan tangis.

Maaf, Hani. Aku tak bisa menjadi temanmu lagi. Aku ingin melupakanmu, segala tentangmu, tentang cintaku. Kau, terlalu indah untuk kucintai. Doakan aku agar bisa berubah. Semoga. Mungkinkah aku mampu? Entah.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar